Situbondo – Proyek pembangunan bronjong di aliran Sungai Avor, Desa Klatakan, Kecamatan Kendit, Kabupaten Situbondo, menuai sorotan tajam. Masyarakat mempertanyakan legalitas aktivitas proyek, khususnya terkait penggunaan material urugan yang diduga berasal dari tambang ilegal atau lokasi tambang yang sudah jelas melanggar aturan.
Tak hanya itu, aktivitas galian C yang berlokasi di Desa Kilensari, Kecamatan Panarukan, juga disinyalir menyimpang dari peruntukannya. Material tanah hasil normalisasi sungai diduga dijual bebas dan digunakan untuk menimbun lahan sawah produktif yang dialihfungsikan menjadi perumahan.
Ironisnya, meski aktivitas tersebut berlangsung terang-terangan, hingga kini belum terlihat adanya penindakan dari aparat penegak hukum maupun Pemerintah Kabupaten Situbondo. Keberadaan proyek yang beroperasi melalui Bidang Sumber Daya Alam (SDA) Dinas PU Provinsi Jawa Timur ini seakan kebal hukum.

Menabrak Aturan Tambang dan Perlindungan Lahan Pertanian
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP, aktivitas pertambangan tanpa izin adalah tindakan pidana. Apalagi jika material urugan diambil dari kegiatan normalisasi sungai dan kemudian diperjualbelikan, maka itu masuk dalam kategori penyalahgunaan peruntukan.
Selain itu, alih fungsi lahan sawah produktif menjadi kawasan perumahan juga menyalahi aturan. Seharusnya, ada proses panjang dan ketat sesuai regulasi, termasuk pemetaan lahan pertanian berkelanjutan yang diatur melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Situbondo Nomor 4 Tahun 2020 tentang Cadangan Pangan.
Perda tersebut secara tegas mengatur penetapan cadangan pangan, tahapan penyelenggaraan, hingga pengawasan dan pelaporan. Namun, praktik di lapangan menunjukkan indikasi pengabaian terhadap aturan tersebut oleh para pengembang perumahan.
Dijual dengan Alasan Ongkos Angkut
Dari hasil investigasi tim Media Kami di lokasi, tanah urugan dari galian C dijual bebas dengan harga bervariasi antara Rp200.000 hingga Rp250.000 per rit, dengan alasan mengganti ongkos angkut dump truck. Padahal, aktivitas ini jelas melanggar aturan, karena hasil normalisasi sungai tidak diperbolehkan untuk diperjualbelikan.
Jika dibiarkan, praktik ini tidak hanya merugikan negara dari sisi pajak dan perizinan, tetapi juga berdampak serius pada ketahanan pangan daerah akibat berkurangnya lahan pertanian produktif.
Penegakan Hukum Diharapkan Tegas dan Terbuka
Masyarakat berharap pemerintah daerah dan aparat penegak hukum segera turun tangan. Penertiban dan audit menyeluruh terhadap asal-usul material proyek serta legalitas alih fungsi lahan harus dilakukan secara transparan dan tegas.
Ketika aturan terus diabaikan, dan pengawasan melemah, maka pembangunan bukan menjadi solusi, melainkan ancaman bagi masa depan pertanian dan lingkungan Kabupaten Situbondo













